Back to News
aspek perpajakan layanan ott

Layanan OTT: Aspek Perpajakan

INDOPAJAK.ID, Jakarta – Layanan OTT adalah layanan yang sangat digemari oleh generasi muda Indonesia tanpa diketahui aspek perpajakannya. Ketahui bersama apa saja aspeknya. Indopajak telah merangkum untuk Anda.

Pendahuluan

Layanan Over-The-Top (OTT) seperti Netflix, Spotify, Disney+, dan platform digital lainnya semakin populer di Indonesia. Pertumbuhan ini membawa dampak positif terhadap ekosistem digital, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam aspek perpajakan. Pemerintah Indonesia merespons dengan merancang regulasi pajak yang adil dan adaptif agar transaksi digital tidak luput dari kewajiban pajak.

Landasan Regulasi Pajak OTT

Dasar hukum pengenaan pajak atas layanan OTT diatur dalam PMK Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Regulasi ini memperjelas bahwa layanan OTT asing yang menjual jasanya ke Indonesia wajib memungut PPN sebesar 11%. Dengan demikian, konsumsi konten digital dari luar negeri tetap berkontribusi pada penerimaan negara.

Mekanisme Pengenaan Pajak

Proses pengenaan pajak atas layanan OTT terlakukan dengan cara pemungutan langsung oleh penyedia layanan digital. Perusahaan OTT asing yang tertunjuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) wajib memungut PPN dari pengguna di Indonesia saat transaksi berlangsung. PPN tersebut kemudian disetorkan ke kas negara melalui DJP. Contohnya, jika pengguna Indonesia berlangganan Netflix seharga Rp100.000 per bulan, maka akan ada tambahan PPN Rp11.000 yang harus dibayarkan.

Tantangan dan Implementasi

Meskipun mekanisme pemungutan PPN digital sudah berjalan, masih terdapat tantangan besar. Pertama, tidak semua penyedia layanan OTT bersedia mendaftarkan diri dan memungut PPN sesuai aturan. Kedua, pengawasan terhadap transaksi digital lintas negara masih membutuhkan koordinasi antarotoritas pajak. Ketiga, terdapat isu keadilan antara penyedia OTT lokal dan asing. OTT lokal membayar PPN sekaligus pajak penghasilan, sementara OTT asing hanya terkena PPN digital jika tidak memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Dampak Bagi Konsumen dan Penyedia Layanan

Bagi konsumen, pengenaan pajak ini berarti adanya kenaikan harga langganan. Namun, dari sisi positif, penerimaan negara meningkat dan dapat teralokasikan untuk pembangunan. Sementara itu, bagi penyedia layanan OTT, regulasi ini menjadi bentuk kepastian hukum. Penyedia yang mematuhi aturan akan lebih terterima oleh pemerintah sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen.

Harapan Masa Depan

Pemerintah Indonesia terharapkan tidak hanya berhenti pada PPN digital. Perlu ada aturan lebih jelas mengenai Pajak Penghasilan (PPh) bagi perusahaan OTT asing yang memperoleh penghasilan signifikan dari Indonesia. Harmonisasi pajak digital global yang terdorong OECD melalui pilar 1 dan 2 menjadi momentum penting untuk memastikan keadilan pajak.

Kesimpulan

Aspek perpajakan layanan OTT di Indonesia menunjukkan langkah maju dalam merespons ekonomi digital. Dengan PPN digital sebesar 11%, negara memperoleh tambahan penerimaan dari konsumsi konten digital asing. Walau masih ada tantangan dalam implementasi, regulasi ini menjadi pondasi penting menuju sistem pajak digital yang lebih adil. Ke depan, perbaikan aturan PPh digital dan koordinasi global akan semakin memperkuat kontribusi sektor OTT terhadap penerimaan negara sekaligus menjaga keadilan antar pelaku usaha.

Jika Anda memiliki pertanyaan terkait pajak perusahaan, Anda bisa hubungi Indopajak dan gunakan kode IDPJKARTKL untuk konsultasi gratis.

Share this post

Back to News
WhatsApp chat