Back to News

Yuk Kenali ‘Saudara’ PPh 21, Yakni PPh 23

Apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar kata “Pajak”? Uang, gaji di potong, penghasilan berkurang, manfaatnya apa, mengapa diberlakukan, dan masih banyak lagi. Bukan hanya pikiran tetapi perasaan juga galau, dihantui seolah-olah memiliki hutang, padahal pajak adalah iuran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi iuran adalah jumlah uang yang dibayarkan anggota perkumpulan kepada bendahara setiap bulan (untuk biaya administrasi, rapat anggota, dsb). Jadi tidak heran kalau pajak merupakan sebuah iuran wajib.

Tidak sedikit Wajib Pajak pasti merasakan hal yang sama apabila berbicara mengenai pajak. Apalagi jika anda memiliki perencanaan ingin membeli sesuatu lalu harus tertunda karena harus menjalankan kewajiban terlebih dahulu. Namun kalau pemikiran seperti ini terus menerus menjadi sugesti, maka kemungkinan besar akan terjadi penyimpangan dimana masyarakat lalai dalam menjalankan kewajibannya. Negative thinking terhadap pajak merupakan kebiasaan buruk yang harus dihindari karena akan memunculkan sifat mementingkan diri sendiri dan ‘lari’ dari kewajiban perpajakannya. Padahal seperti yang dikatakan oleh Direktorat Jendral Pajak bahwa pajak kita, untuk kita juga.

Penerapan makna pajak yang sebenarnya

Menyikapi pemikiran negatif mengenai pajak maka gagasan mengenai pentingnya pajak harus diterapakan. Coba bayangkan apabila pembangunan negara terpaksa dihentikan karena kurangnya pemasukan negara sebagai modal untuk menjalankannya. Contohnya jalanan rusak yang harusnya diperbaiki jadi terhambat perbaikannya karena kurangnya dana, bisa berbagai macam dampaknya. Pemikiran negatif diatas perlu dihapus dan diganti dengan pengertian dasar mengenai pajak yang secara umum merupakan salah satu penerimaan negara yang cukup besar dan bereran penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia, termasuk dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Direktorat Jendral Pajak (DJP) melaksanakan perbaikan atas sistem pelayanan kepada masyarakat seperti penyuluhan, sistem administrasi, pengawasan pajak dan tata cara penyampaian pajak dengan tujuan tidak hanya untuk mengoptimalkan penerimaan negara tetapi juga meningkatkan keptuhan dalam membayar pajak.

Peraturan perpajakan mengalami perubahan secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dan pastinya juga diatur agar tidak terlalu memberatkan masyarakat. Berdasarkan peraturan perpajakan, terdapat beberapa jenis pajak salah satu diantarnya adalah Pajak Penghasilan. Pada tahun 2010, Pajak Penghasilan baik badan maupun pribadi akan menjadi pajak yang berdampak besar bagi penerimaan negara oleh karena itu pemerintah sangat tegas dalam penerimaan Pajak Penghasilan. Artikel-artikel sebelumnya telah membahas mengenai PPh 21 dan PPh 22 kali ini kita akan bahas ‘saudara’ dari PPh 21, yakni PPh 23.

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) dan perbedaannya dengan PPh 21

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau yang selanjutnya disingkat PPh 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 selanjutnya disingkat PPh 21. Dengan kata lain yang menjadi perbedaan antara PPh 23 dengan PPh 21 adalah PPh 23 dikenakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima atas modal, jasa, penghargaan/hadiah suatu WP badan dalam negeri, sedangkan PPh 21 dikenakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh sesorang (pribadi) dengan status WP dalam negeri karena dipungut dari gaji, upah, tunjangan atau pembayaran lain seperti dari honorarium.

Subjek dan Objek PPh 23

Seperti jenis pajak lainnya, PPh 23 juga memiliki Subjek dan Objek yang ditetapkan untuk menjadi target pemungutan pajak. Subjek PPh 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Sedangkan yang menjadi objek pemotongan PPh 23 adalah dividen, bunga, royalty, hadiah, penghargaan, dan bonus (tarif 15% dari jumlah bruto) dan sewa beberapa jenis jasa (tarif 2% dari bruto). Selanjutnya subjek dan objek tersebut dikenal dengan istilah pemotong dan penerima PPh 23.

Pemotong dan Penerima PPh 23

Dalam ketentuan PPh 23, terdapat pihak pemberi penghasilan dan penerima penghasilan. Dimanakah perbedaannya? Pihak pemberi penghasilan bertugas untuk memotong, membayar dan melaporkan PPh 23. Berikut adalah pemotong PPh 23:

  1. Badan pemerintah
  2. Subjek pajak badan dalam negeri
  3. Penyelenggara dalam negeri
  4. Bentuk usaha tetap
  5. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya
  6. Orang Pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23, yaitu:
  7. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), kecuali camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
  8. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.

Sedangkan penerima penghasilan akan dikenakan PPh 23. Pihak-pihak yang dimaksud adalah:

  1. Wajib Pajak dalam negeri;
  2. BUT

Tarif PPh 23

Menurut penjelasan yang dikutip melalui Direktorat Jendral Pajak pemotong PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak dalam negeri atau BUT, dipotong PPh Pasal 23 yang wajib membayar:

  1. 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti dan hadiah/penghargaan, bonus, selain yang telah dipotong PPh Pasal  21
  2.  2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
    1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan
    2. imbalan sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
    3. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yaitu:
      • Jasa penilai;
      • Jasa Aktuaris;
      • Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
      • Jasa perancang;
      • Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh BUT;
      • Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
      • Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
      • Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
      • Jasa penebangan hutan
      • Jasa pengolahan limbah
      • Jasa penyedia tenaga kerja
      • Jasa perantara dan/atau keagenan
      • Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga,kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI
      • Jasa kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
      • Jasa pengisian suara
      • Jasa mixing film
      • Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
      • Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
      • Jasa perawatan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
      • Jasa maklon
      • Jasa penyelidikan dan keamanan
      • Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer
      • Jasa pengepakan
      • Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
      • Jasa pembasmian hama
      • Jasa kebersihan atau cleaning service
      • .Jasa katering atau tata boga.

Perlu diperhatikan bahwa wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif tersebut di atas. Oleh sebab itu, pastikan anda memiliki NPWP.

Pengecualian Pemotongan PPh 23

Pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas:

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. dividen yang bukan Objek PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi (merupakan objek PPh yang bersifat final);
  4. bagian laba yang bukan objek PPh;
  5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan
  6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

Lalu bagaimana tata cara pembayaran hingga pelaporan PPh 23?

Menurut Undang-Undang perpajakan, untuk melapor PPh 23 pihak pemotong perlu membuat ID billing terlebih dahulu menggunakan aplikasi e-Billing. Setelah itu anda bisa membayar melalui perantara ATM, teller bank, atau internet banking yang secara resmi ditunjuk oleh Kementerian Keuangan. Namun ingat, tandai hari jatuh tempo pembayaran PPh 23  yakni pada tanggal 10 bulan berikutnya. Setelah penyetoran dilakukan anda akan  memperoleh Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) sebagai bukti pembayaran.

Para pemotong pajak akan diberi kebebasan untuk memilih bentuk pelaporan SPT Masa PPh 23 via online (e-Filling) atau offline (hard copy). Tahap selanjutnya adalah pihak pemotong harus memberikan bukti potong yang lengkap kepada pihak yang dikenakan pajak  saat melakukan e-Filing pajak PPh 23 dengan memperhatikan tanggal jatuh tempo pelaporan yakni tanggal 20 bulan berikutnya ke KPP terdaftar. Dengan catatan apabila tanggal 20 adalah hari libur pelaporan dapat dilakukan paling lama hari kerja berikutnya.

Demikian uraian singkat mengenai PPh 23. Diharapkan anda sebagai wajib pajak taat untuk membayar pajak karena hal ini merupakan kewajiban anda. Semoga informasi diatas dapat membantu anda untuk sedikit lebih memahami PPh 23. Namun apabila anda membutuhkan informasi yang lebih atau ingin berkonsultasi dan mengurus perpajakan anda, anda bisa hubungi kami disini dan biar kami yang mengurus perpajakan anda.

Share this post

Back to News
WhatsApp chat