Back to News

Kasus Pajak Pengaruhi APBN Indonesia

Banyaknya celah dan penegakan hukum yang lemah membuat kasus pajak bersemi di Indonesia. Tahun ini saja, kita dihebohkan dengan kasus restitusi pajak perusahaan dealer mobil mewah yang menyeret beberapa petugas kantor pajak. Belum lagi beberapa kasus lainnya yang tidak dilanjutkan penyelidikannya lantaran kurangnya  bukti. Maka tidak heran, bila penerimaan APBN dari pajak  tahun ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Kasus Restitusi Pajak PT WAE

PT. Wahana Auto Ekamarga (WAE) adalah perusahaan penanaman modal asing yang bergerak dalam bidang bisnis dealer untuk mobil Bentley, Land Rover, Jaguar and Mazda. Kasus ini berhasil menyeret mantan komisaris dan pemegang sahamnya, Darwin Maspolim serta 4 pegawai Direktorat Jendral Pajak menjadi tahanan KPK atas kasus suap. Penyuapan ini terungkap berkat Whistle Blowing System dari Kementrian Keuangan yang bekerja sama dengan KPK.

Kasus ini bermula ketika PT. WAE melaporkan SPT Pajak Tahunan Badan Usaha tahun 2015 dan meminta restitusi sebesar 5,03 miliar dan 2,7 miliar pada tahun 2016. Padahal dari hasil pemeriksaan 4 tersangka lainnya, PT. WAE mengalami kurang bayar. Setelah penemuan tersebut, salah satu tersangka pegawai pajak menawarkan penyetujuan restitusi dengan imbalan di atas 1 miliar. Darwin Maspolim setuju dan membayarkan suap kepada 4 pegawai pajak sebanyak 1.8 miliar.

Kasus Pajak Libatkan Pejabat Negara

Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi dengan melibatkan PT Cherng Tay Indonesia. Bahkan, bulan Agustus lalu KPK bersama Kejaksaan Agung telah menggelar rekonstruksi di  Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cengkareng, Jakarta Barat. Pada rekontruksi tersebut terungkap bahwa ada pejabat pajak yang terlibat dalam praktek penyuapan.

Bahkan KPK sempat akan mengumumkan pejabat tersebut pada bulan Agustus lalu, namun sayangnya hingga saat ini kasus tersebut menguap dan tidak ada berita mengenai kasus tersebut lagi setelahnya.

Dana restitusi memang sejatinya menggerus penerimaan pajak negara. Apalagi, dana mengalami kenaikan setiap tahunnya. Di tahun 2017, dana restitusi yang dibayarkan sebesar 101 triliun, dan pada 2018 naik menjadi 118 triliun. Padahal, tahun 2016 saja, dari Rp101 triliun dana restitusi yang dibayarkan, sekitar 20%-30% di antaranya diduga diajukan dengan menggunakan faktur palsu. 2019 kenaikan restitusi tumbuh hingga 30%.

Kasus Pajak Perusahaan Ekspor

Selain kasus restitusi pajak, kasus lain yang tidak kalah heboh adalah kasus yang menimpa Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia. Perusahaan ini memiliki berbagai masalah, di antaranya adalah pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pertambahan nilai, penolakan tax amnesty (pengampunan pajak), pencabutan pengukuhan PKP (pengusaha kena pajak), dan pemeriksaan bukti permulaan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Kalibata dan Kantor Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus.

Lantaran banyaknya masalah yang dimiliki PT. EK Prima Ekspor Indonesia, Ramapanicker Rajamohanan Nair, menyuap Mantan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Handang Soekarno sebesar 1,9 miliar agar dapat mempercepat berbagai persoalan yang dihadapi perusahaannya.

Karena penyuapan tersebuta akhirnya diketahui penegak hukum, Handang mendapatkan vonis 10 tahun penjara, sementara Ramapanicker Rajamohanan Nair dihukum 3 tahun penjara.

Kasus Pajak Berkontribusi Turunkan Penerimaan Pajak

Berbagai kasus pajak beserta penegakan hukumnya yang dinilai lemah menjadi salah satu alasan malasnya berbagai perusahaan membayar kewajibannya. Belum lagi keadaan ekonomi dan faktor global lainnya yang turut berkontribusi. Maka tidak heran, jika akhirnya penerimaan pajak menurun karena hal  ini.

Hingga akhir Agustus 2019, penerimaan pajak untuk APBN hanya tumbuh 0,21% atau sebesar 801,16 triliun dari tahun sebelumya dengan periode yang sama sebesar 799,46 triliun.  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrastuti, pada akhir September mengatakan bahwa lesunya ekonomi menjadi faktor menurunnya penerimaan pajak.

Perusahaan- perusahaan membayarkan pajak dengan nilai yang lebih rendah karena keuntungan yang berkurang. Situasi geopolitik dan keamanan, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dan harga komoditas yang semakin tinggi membuat keadaan ekonomi semakin tidak menentu dan berefek pada iklim bisnis.

Sementara itu, Yon Arsal Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan ada 3 hal yang membuat realisasi pajak tertekan, di antara:

  1. Jumlah restitusi yang meningkat dan dipercepat
  2. Perekonomian global yang mengalami penurunan signifikan yang berujung pada menurunnya aktivitas impor hingga 7% dari target sebesar 23%. Padahal impor berkontribusi 18% ke penerimaan pajak.
  3. Harga komoditas yang tidak stabil.

Dengan keadaan ini, Direktorat Jendral Pajak kemudian mencari cara untuk menyelamatkan penerimaan pajak negara dengan beberapa cara diantaranya mengatur alur pencairan restitusi, mengoptimalkan penerimaan wajib pajak orang kaya dan korporasi, pedagang online hingga reformasi pada bidang perpajakan untuk mendukung perekonomian negara dan dunia usaha.

 Membayar Pajak Membangun Negara

Masih belum banyak  yang mengetahui betapa pentingnya membayar pajak untuk pertumbuhan dan operasional negeri. Sebagai gambaran, situs https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu menyediakan fitur untuk menggambarkan simulasi alokasi pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak.

Situs ini juga memberikan data lengkap Belanja Negara pada APBN 2019 sebesar Rp2461,11 triliun yang berasal dari Penerimaan Perpajakan sebesar 1786,38 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak 378,3 triliun, Hibah 0,43 triliun, Pembiayaan 296 triliun.

Jika diperjelas lagi, berikut alokasi pajak untuk Belanja Pemerintah Pusat per tahun 2019 yang masuk ke dalam APBN menurut https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu:

  1. Pelayanan Umum, Rp 517,34 triliun.
  2. Pertahanan, Rp 108,43 triliun
  3. Ketertiban dan Keamanan, Rp 142,97 triliun
  4. Ekonomi, Rp 389,6 triliun
  5. Perlindungan Lingkungan Hidup, Rp 17,76 triliun
  6. Perumahan dan Fasilitas Umum,Rp 26,52 triliun
  7. Kesehatan, Rp 62,76 triliun
  8. Pariwisata, Rp 5,33 triliun
  9. Agama, Rp 10,14 triliun
  10. Pendidikan, Rp 152,69 triliun
  11. Perlindungan Sosial, Rp 200,8 triliun

Sementara untuk alokasi pajak dalam Belanja Daerah per tahun 2019 yang masuk ke dalam APBN adalah sebagai berikut:

  1. Dana Alokasi Umum, Rp 417,87 triliun
  2. Dana Bagi Hasil, Rp 106,35 triliun
  3. Dana Alokasi Khusus Fisik, Rp 69,33 triliun
  4. Dana Alokasi Khusus Non Fisik, Rp 131,04 triliun
  5. Dana Keistimewaan DIY, Rp 1,2 triliun
  6. Dana Otonomi Khusus, Rp 20,98 triliun
  7. Dana Insentif Daerah, Rp 10 triliun
  8. Dana Desa, Rp 70 triliun

Dengan penjelasan tentang alokasi pajak tersebut, tentu bisa dibayangkan, betapa pentingnya membayar pajak sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara? Jangan melanggar hukum hanya untuk melancarkan kegiatan perpajakan Anda, karena Anda bisa saja bernasib sama dengan perusahaan di atas. Silahkan konsultasikan perpajakan Anda bersama kami dengan klik indopajak.com atau hubungi kami di (021) 2212 7479.

Share this post

Back to News
WhatsApp chat